Petitum Permohonan |
- TERMOHON TIDAK CUKUP BUKTI DALAM MENETAPKAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA.
- Bahwa Termohon dalam menetapkan tersangka pada dugaan Penyerobotan Tanah dan Penggelapan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 385 dan Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Polri Resor Cirebon Sat Reskrim Polres Cirebon, Unit I Jatanras, sebagai mana Surat Panggilan dengan No.SPGL/546/VII/2018/Sat.Reskrim tanggal 23 Agustus 2018 kepada Pemohon hanya berdasar pada Keterangan Pelapor, sedangan antara Pelapor dengan Pemohon tidak terikat Hubungan Hukum, seharusnya para Pemberi Kuasa yang harus dilaporkan bukan Pemohon selaku Penerima Kuasa.
- Bahwa terjadinya Penetapan Tersangka terhadap Pemohon berawal dari diterimanya Kuasa dari para Ahli Waris Almarhumah Ibu Nasmi Imi, pada tanggal 18 dan 30 Maret 2016, dari para Ahli Waris Almarhumah Ibu Nasmi Imi, untuk mengurus pemberesan harta peninggalan Almarhumah Ibu Nasmi Imi, Proses Pengurusan dan pemberesan sebagian besar telah selesai diurus oleh Pemohon, kemudian di Jual Belikan oleh Para Ahli waris, Transaksi Jual Beli dilakukan oleh Para Ahli Waris, adapun Pembayaran diterima oleh Pemohon atas perinta dari para Ahli Waris untuk di bagikan pada para Ahli Waris secara merata.
- Bahwa menurut pasal 1792 KUHPerdata unsur-unsur pemberian kuasa adalah Persetujuan Memberikan kekuasaanya untuk menyelenggarakan suatu urusan, pemberian kuasa adalah persetujuan untuk melakukan hal-hal yang diperintahkan oleh Pemberi Kuasa. Pada pasal 1807 KUHPerdata penerima kuasa bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa, segala sebab dan akibat dari kuasa menjadi tanggung jawab sepenuhnya para Pemberi Kuasa.
- Bahwa penetapkan TERSANGKA oleh Penyidik Resor Cirebon Unit I Jatanras atas dugaan telah melakukan Tindak Pidana Penyerobotan dan Penggelapan sebagaimana diatur dalam KUHP Pasal 385 dan pasal 372 terhadap Pemohon tidak memiliki bukti-bukti yang kuat, sehinga dapat diduga telah menyalahgunakan Wewenang.
- Bahwa berdasar pada Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014 Frasa “Bukti Permulaan”, Frasa “Bukti Permulaan Yang Cukup” dan “Bukti Yang Cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti” sesuai dengan pasal 184 KUHAP.
- Bahwa berdasar pada argument-argument sebelumnya, maka Pemohon ragu terhadap terpenuhinya 2 (dua) alat bukti yang dimiliki oleh Termohon dalam hal menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dalam dugaan Penyerobotan dan Penggelapan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 385 dan Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Polri Sat Reskrim Polres Cirebon, Unit I Jatanras, kepada Pemohon.
- Berdasar pada uraian diatas, maka tindakan Pemohon yang tidak memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014, maka dapat dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar hukum, Karena antara Pemohon dengan Pemberi Kuasa adalah Hubungan Hukum Keperdataan.
- PERBUATAN PEMOHON MURNI MERUPAKAN HUBUNGAN HUKUM KEPERDATAAN
- Bhwa pada tanggal 18 dan 30 Maret 2016, Pemohon menerima Kuasa dari para Ahli Waris Almarhumah Ibu Nasmi Imi, untuk mengurus pemberesan pengurusan harta peninggalan Almarhumah Ibu Nasmi Imi, dalam menjalankan Kuasanya Pemohon bertindak selalu untuk dan atas nama Pemberi Kuasa,antara Pemohon dengan Pelaporyang melaporkan Dugaan Tindak Pidana tidak terikat Hubungan Hukum dengan Pemohon, yang terikat Hubungan Hukumhanya antara Pemohon dengan Para Ahli Waris dari Almarhumah Ibu Nasmi Imi selaku Pemberi Kuasa, Termohon telah keliru menetapkan Pemohon menjadi Tersangka, karenaPemohon adalah Penerima Kuasa, seharusnya yang berhak melaporkan Dugaan tindak Pidana adalah Pemberi Kuasa bukan Pihak Ketiga yang tidak terikat hubungan hukum dengan Pemohon, karena hubungan Hukum antara Pemohon dengan Pemberi Kuasa adalah Hubungan Hukum Keperdataan.
- Bahwa menurut pasal 1792 KUHPerdata unsur-unsur dari pemberian kuasa adalah Persetujuan Memberikan kekuasaanya untuk menyelenggarakan suatu urusan, yang terkandung dari pemberian kuasa adalah persetujuan untuk melakukan hal-hal yang diperintahkan oleh Pemberi Kuasa. Pada pasal 1807 KUHPerdata penerima kuasa bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa, sehingga segala sebab dan akibat dari kuasa menjadi tanggung jawab sepenuhnya para Pemberi Kuasa
- Bahwa penetapkan Tersangka terhadap Pemohon atas dugaan Tindak Pidana Penyerobotan dan Penggelapan sebagaimana diatur dalam KUHP Pasal 385 dan pasal 372 oleh Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia Resor Cirebon Unit I Jatanras, merupakan tindakan sewenang-wenang,selayaknya penetapan seseorang jadi tersangka harus memiliki dua alat bukti, kemudian alat bukti yang dimiliki harus relevan dengan tindak pidana yang dipersangkakan, sebagaimana Pasal 1 angka 11 jo. Pasal 14 ayat (1) Perkap 12/2009, sementara antara Pelapor dengan Pemohon tidak terikat hubungan hukum, adapun hubungan Hukum antara Pemohon dengan Pemberi Kuasa adalah Hubungan Hukum Keperdataan.
- Bahwa terdapat perbedaan antara Penyerobotan dan Penggelapan Penyerobotan dapat berupa: (i) Menguasai atau menempati Tanah atau barang tanpa seijin dari Pemiliknya, sementara Pemohon tidak menguasai atau menempati Tanah yang di persangkakan; (ii) Semua hasil kerja Pemohon telah diserahkan kepada Pemberi Kuasa; (iii) Surat-surat Tanah yang telah selesai diurus oleh Pemohon sebagin telah diperjual belikan oleh Pemberi Kuasa (iv) Transaksi Jual Beli dilakukan oleh Para Pemberi Kuasa sehingga Dugaan tindak Pidana yang dilakukan oleh Pemohon terlalu mengada-ada karena antara Pemohon dengan Pemberi Kuasa adalah Hubungan Hukum Keperdataan.
- Bahwa berdasar pada kenyataan yang terjadi pada Pemohon, antara pemohon dengan pelapor tidak terikat hubungan hukum, yang terikat hubungan hukum bukan dengan Pelapor melainkan dengan Pemberi Kuasa, Pemohon sudah berulang kali menyampaikan pada Termohon bahwa Pemohon adalah Penerima Kuasa untuk melakukan Pemberesan dan Pengurusan harta Peninggalan Almarhumah Ibu Nasmi Imi, apa yang disampaikan oleh Pemohon tidak dipertimbangkan sebagai bahan penyidikan oleh Termohon, Termohon hanya berpedoman pada Laporan Pelapor tidak dilakukan Penyelidikan terlebih dahulu, sehinga dengan demikian tidak tepat apabila Pemohon disangka melakukan dugaan Peyerobotan dan Penggelapan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 385 dan Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, karena hubungan hukum antara Pemohon dengan Pemberi Kuasa merupakan hubungan hukum keperdataan.
- Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka tidak dapat dikatakan Pemohon dapat kenakan Pasal-Pasal dalam dugaan Penyerobotan dan Penggelapan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 385 dan Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana seperti halnya dilakukan Termohon kepada Pemohon.
6. PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM.
- Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak azasi manusia (HAM) sehingga azas hukum presumption of innosence atau azas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, negarapun telah menuangkan itu kedalam Konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Azasi Manusia tersebut. Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan.
- Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semejak Montesquieu memgeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dariketeraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat.
- Menurut Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.
- Oemar Seno Adji menentukan prinsip ‘legality‘ merupakan karakteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh ‘Rule of Law’ – konsep, maupun oleh faham ‘Rechtstaat’ dahulu, maupun oleh konsep ‘Socialist Legality’. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas ‘nullum delictum’ dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip ‘legality’.
- Bahwa dalam hukum administrasi negara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilarang melakukan Penyalahgunaan Wewenang. Yang di maksud dengan Penyalahgunaan wewenang meliputi melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan bertindak sewenang-wenang. Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu. Mencampuradukkan kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa “pejabat pemerintah atau alat administrasi negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain”. Menurut Sjachran Basah “abus de droit” (tindakan sewenang-wenang), yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaiamana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas).
- Bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Penyalahgunaan wewenang juga telah diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan, yakni meliputi :
– dibuat sesuai prosedur; dan
– substansi yang sesuai dengan objek Keputusan
- Bahwa sebagaiman telah Pemohon uraikan diatas, bahwa Penetapan tersangka Pemohon dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan peraturan-perundang undangan yang berlaku.Sehingga apabila sesuai dengan ulasan Pemohon dalam Permohonan A Quo sebagaimana diulas panjang lebar dalam alasan Permohonan Praperadilan ini dilakukan tidak menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka seyogyanya menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah sebagai berikut :
- “Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah”
- Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf b dan c merupakan Keputusan yang batal atau dapat dibatalkan.
- Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon dengan menetapkan Pemohon sebagai tersangka yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar, maka Majelis hakim Pengadilan Negeri Sumber Cirebon yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan tersangka terhadap Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum.
III. PETITUM
Berdasar pada argument dan fakta-fakta yuridis diatas, Pemohon mohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sumber Cirebon yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut :
- Menyatakan permohonan Pemohon Praperadilan diterima untuk seluruhnya;
- Menyatakan tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dengan dugaan Penyerobotan dan Penggelapan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 385 dan Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Polri Sat Reskrim Polres Cirebon, Unit I Jatanras,adalah tidak sah dan tidak berdasarkan hukum dan oleh karenanya penetapan tersangka a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
- Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkenaan dengan penetapan tersangka atas diri Pemohon oleh Termohon;
- Menyatakan bahwa perbuatan Termohon yang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka tanpa prosedur adalah cacat yuridis/bertentangan dengan hukum, yang mengakibatkan kerugian sebesar Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah).
- Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap perintah penyidikan kepada Pemohon;
- Memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
- Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.
Pemohon sepenuhnya memohon kebijaksanaan Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sumber Cirebon yang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap Perkara aquo dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dan rasa kemanusiaan.
Apabila Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sumber Cirebon yang memeriksa Permohonan aquo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
|